Menjelang 1 bulan sejak penerbangan Sriwijaya Air SJ182 yang dioperasikan oleh PK-CLC jatuh, pihak KNKT bersiap untuk merilis laporan awal. Dengan banyaknya spekulasi yang berbeda tentang penyebab kecelakaan dan kurangnya analisis tertulis dari saya, mari kita rangkum apa yang terjadi dan apa yang kita ketahui sejauh ini.

KNKT telah mewawancarai pengawas lalu lintas udara, teknik perawatan pesawat, dan operator penerbangan, selain mengumpulkan dan menganalisis data radar dan data ADS-B. Beberapa bagian dari pesawat telah diambil, dan perekam data penerbangan telah diperoleh, diunduh dan dianalisis. Selain itu, catatan perawatan pesawat, informasi pelatihan awak dan informasi cuaca telah dikumpulkan.

Pesawat berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta (WIII / CGK) pada 1436 WIB dengan 2 pilot, 4 awak kabin dan 56 penumpang. Penerbangan sempat ditunda sekitar 1 jam karena alasan cuaca.

Data Awal

Automatic Dependent Surveillance – Broadcast (ADS-B) adalah sistem di mana pesawat terus menerus menyiarkan data seperti posisi dan ketinggian pesawat, lalu sinyalnya diambil dan diproses oleh penerima di darat. Pesawat terus mengirimkan data ADS-B hingga mencapai 250ft, dan ini menandakan daya listrik masih tersedia di pesawat selama jatuh ke permukaan laut.

Tenaga listrik pesawat biasanya dihasilkan melalui generator pada mesin saat dalam penerbangan, sementara ini menunjukkan mesin masih berjalan, tenaga listrik dapat diperoleh dari Auxilliary Power Unit di bagian ekor pada ketinggian yang lebih rendah. Namun, konfirmasi bahwa mesin masih berjalan berasal dari Flight Data Recorder dan sisa-sisa mesin pesawat yang diambil. Kondisi bilah kompresor dan turbin konsisten dengan mesin yang masih berjalan pada saat pesawat menghantam air.

Dari 2 kotak hitam tersebut, Flight Data Recorder berhasil ditemukan dari lokasi kecelakaan dan KNKT telah menyatakan bahwa 370 parameter tercatat selama 27 jam waktu penerbangan yang mencakup 18 penerbangan termasuk penerbangan kecelakaan. Perekam Suara Cockpit (Cockpit Voice Recorder – CVR) telah berhasil ditemukan tetapi tanpa modul memori yang menyimpan data. Pencarian untuk CVR terus berlanjut.

Analisa data ADS-B

Meskopun data ADS-B sangat bagus sebagai sumber data untuk analisa diluar investigasi kecelakaan resmi, kita harus memahami batasannya. Saat melihat kecepatan, sebagian besar situs ADS-B menunjukkan kecepatan darat (Ground Speed), bukan kecepatan udara (Air Speed, ada Indicated Airspeed dan True Airspeed). Pesawat terbang terbang dengan kecepatan udara, dan kecepatan darat adalah kecepatan udara (True Airspeed) plus atau minus efek angin. Data kecepatan udara dapat dipancarkan, tergantung pada jenis pesawat, tetapi bagi mereka yang menggunakan akses Flightradar24 gratis, data ini tidak akan tampil.

Flightradar24 memang menerbitkan data granular SJ182 yang memiliki resolusi data waktu yang lebih baik daripada yang tersedia untuk akun akses gratis di situs tersebut. Saya juga memiliki sistem penerima ADS-B sendiri yang biasanya memiliki resolusi data waktu yang lebih baik, tetapi pada penerbangan ini, entah bagaimana kami kehilangan data pesawat dari saat pesawat mulai kehilangan ketinggian sampai akhir penerbangan. Namun, data antara kedua sistem diperiksa silang dan dianggap konsisten.

Ada hal yang kita harus sangat hati-hati mengenai analisa data posisi ADSB untuk Boeing 737-300 / 400/500, karena posisi pesawat untuk pesawat ini biasanya tidak dihasilkan oleh Sistem Satelit Navigasi Global (Global Navigation Satellite System). Meskipun beberapa 737 classic memiliki modifikasi ekstensif untuk mengirimkan data posisi GPS, pesawat khusus ini tampaknya memancarkan posisi pesawatnya berdasarkan posisi Flight Management Computer pesawat, yang dihitung melalui sistem referensi inersia (Inertial Reference System)yang dikoreksi dengan perhitungan berdasarkan radio navigasi. Hal ini dapat mengakibatkan perpindahan posisi yang cepat dan besar yang dipancarkan melalui ADSB, tetapi analisis awal kami tidak menemukan “pergeseran koreksi posisi” yang terjadi pada penerbangan ini. Untuk analisis, yang kami cari adalah tren (perubahan posisi) dari setiap titik data bukannya memperlakukan posisi tersebut sebagai benar-benar akurat.

 

Kita dapat melihat di sini pada penerbangan sebelumnya hari itu dengan pesawat yang sama, PK-CLC, terlihat ada pergeseran posisi ADSB karena koreksi posisi pesawat oleh Flight Management Computer, yang mungkin diakibatkan penyetelan ulang stasiun navigasi radio baik secara otomatis oleh sistim atau manual oleh pilot. Kami tidak menemukan perubahan seperti itu pada penerbangan kecelakaan (juga ditunjukkan pada diagram di atas).

Dengan batasan ini, saya melihat plot 2D dari jalur penerbangan secara horizontal dan vertikal. Dari sini kita bisa melihat yang berikut:

Data menunjukkan lintasan pesawat saat selesai belok ke kanan pada saat keberangkatan, mulai menunjukkan belokan progresif ke kiri, sebelum berbalik arah saat menukik.

Saat kita melihat plot 3D dari jalur penerbangan, kita dapat lebih mudah memvisualisasikan pesawat telah memasuki posisi abnormal. Sifat corkscrew dari lintasan pesawat menunjukkan penambahan kemiringan kekiri secara perlahan, dengan pesawat kehilangan tingkat pendakiannya semakin besar kemiringannya, hingga akhirnya sudut kemiringan yang berlebihan menghasilkan kemungkinan rollover dan menukik.

Melihat plot vertikal pesawat, kelihatannya setelah rollover kru pesawat berusaha menyelamatkan pesawat. Pendeteksian tingkat pendakian yang ekstrem saat pesawat menukik, DAPAT menunjukkan upaya penyelamatan pesawat oleh kru yang cukup drastis yang bisa menyebabkan terekamnya tingkat pendakian besar yang salah. Data kecepatan vertikal dihasilkan melalui sistem referensi inersia pesawat, dan fluktuasi liar dapat terjadi karena batasan operasi normal IRS terlampaui dalam upaya recovery. Tetapi untuk jawaban yang pasti untuk ini, tentu saja, kita harus melihat Flight Data Recorder, yang pada saat penulisan ini, belum tersedia untuk umum.

Bagaimana jika dibandingkan dengan data yang dikeluarkan KNKT dalam rapat DPR pada 3 Februari 2021?

Mirip sih, TAPI, sekarang kita mendapatkan konteks yang lebih baik tentang apa yang terjadi.

Jika saya memahaminya dengan benar, pada 13:38:51 kru meminta ATC untuk mengarahkan pesawat ke heading 075 derajat dan tidak mengikuti jalur keberangkatan instrumen standar (Standard Instrument Departure) dan saya asumsi ini disetujui. Namun pada 13:39:01 saat melewati ketinggian 9000 kaki, ATC menginstruksikan pesawat untuk berhenti mendaki pada ketinggian 11.000 kaki. Pesawat kemudian keluar dari belokan kanannya, dan pesawat telah berhenti belok ke kanan pada 14:39:54 dan melewati 10.700 kaki ketika ATC memerintahkan mereka untuk naik ke ketinggian 13.000 kaki. Instruksi ini dibaca kembali oleh pilot 5 detik kemudian pada 14:39:59 saat melewati 10.800 kaki. Saat ini pesawat sudah berbelok ke kiri, dan kecepatan pendakiannya menurun, pesawat mencapai ketinggian maksimum 10.900 kaki pada pukul 14:40:05.

Apa yang terjadi selanjutnya sulit untuk ditulis karena mengerikan. Pesawat meningkatkan kecepatan turunnya, dan mencapai 10.100 kaki pada 14:40:12, dan kita bisa melihat groundspeed pesawat meningkat. Pesawat kemudian mungkin terbalik, menukik tajam, dan pesawat kemudian diasumsikan telah mengoreksi sudut kemiringannya-nya, karena kemudian terbang relatif lurus (meskipun turun dengan cepat) hingga rekaman terakhir pada 14:40:28 di 250ft, dengan kecepatan darat 385 knot.

Sampai saat ini, semuanya relatif mirip dan konsisten dengan dugaan:
1. Keluar dari jalur SID dan meminta heading atau direct-to point.
2. Pesawat lepas landas dengan bobot yang cukup ringan, dan sudut pendakian awal lebih curam dari biasanya karena ringannya bobot pesawat.
3. Sudut pendakian yang lebih curam dari biasanya bersamaan dengan berbelok, dapat menyebabkan beberapa bentuk disorientasi awak dan tingkat kecuraman pendakian dikoreksi saat pesawat melewati 10.000 kaki, untuk menambah kecepatan.

Rangkaian peristiwa bisa saja memicu disorientasi kru, tetapi meski jalur tersebut menunjukkan tanda-tanda klasik disorientasi, hal ini sama sekali bukan kesimpulan. Ini hanyalah tebakan yang berdasarkan pengalaman observasi kecelakaan-kecelakaan lainnya. Masih ada kemungkinan penyebab lainnya seperti asimetri tenaga dorong antara 2 mesin yang berlebihan yang dapat menghasilkan corkscrew yang serupa.

Keterangan KNKT tentang jalur penerbangan dan komunikasi antara kru dan ATC memberikan gambaran yang cukup faktual. Namun, KNKT juga mengungkapkan hal-hal berikut:

  1. Awak biasanya akan memasukkan instrumen standar keberangkatan dan batasan ketinggiannya ke dalam Komputer Manajemen Penerbangan sebelum keberangkatan.
  2. Crew ternyata telah menyetel autopilot untuk mengikuti FMC dengan memilih mode LNAV dan VNAV (Lateral Navigation dan Vertical Navigation);
  3. Ketika ATC meminta kru untuk menghentikan pendakian mereka pada 11.000, kru tampaknya telah mengubah mode autopilot ke HDG SEL (Heading Select) dan VS (Vertical Speed).

Untuk memahami mengapa mereka melakukan ini kita butuh CVR, namun itu bisa dijelaskan oleh permintaan heading oleh kru dan ATC yang meminta untuk menahan pendakian mereka di 11.000. Ingat, pesawat ini mendaki dengan cepat di bawah 10.000 kaki.

 

Sebelum ini, saya cukup dalam melihat prosedur kru karena saya curiga adanya disorientasi. Tentu, beradaan 2 kru di kokpit dengan instrumen yang berfungsi baik di depan mereka akan mengurangi kemungkinan disorietnasi namun tidak bisa sepenuhnya menghilangkan risiko itu. Biasanya dalam pengoperasian Boeing 737, pada 10.000 kaki, pilot monitoring (bukan yang menerbangkan pesawat) harus mematikan lampu pendaratan, mempertimbangkan apakah akan mematikan tanda sabuk pengaman atau tetap mengaktifkannya, dan kemudian memeriksa sistem tekanan kabin untuk memastikan kabin diberi tekanan untuk mencegah hipoksia pada ketinggian lebih dari 14.000 kaki. Prosedur ini dapat memakan waktu antara 10 detik hingga 30 detik tergantung pada keadaan. Selama waktu ini, pilot monitoring harus mengalihkan pandangannya dari instrumen penerbangan di depannya, dan melihat bagian-bagian panel overhead untuk menyelesaikan tugas tersebut. Jika pilot yang terbang (pilot flying) sudah mengalami disorientasi pada tahap ini, dia tidak ada orang yang bisa memperingatkannya.

Apa yang bisa mengalihkan pandangan pilot monitoring dari instrumennya lebih lama dari biasanya dapat disebabkan oleh instruksi ATC tambahan untuk mengubah batas pendakian dari 11.000 kaki menjadi 13.000 kaki, di mana perubahan tersebut harus dimasukkan ke dalam panel autopilot, dan diverifikasi oleh pilot lainnya. Tindakan ini mengalihkan pandangan kedua kru dari instrumen selama beberapa detik. Meskipun ini bukan hal yang aneh dan biasanya sangat aman dilakukan, kadang-kadang, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kesadaran situasional. Kemungkinan lain yang dapat dipertimbangkan adalah kemungkinan dorong asimetris antara kedua mesin. Jika asimetri ini terjadi dan menyebabkan kecelakaan, kejadiannya haruslah terjadi pada waktu yang salah, yaitu saat pesawat melewati 10.000 kaki, dengan instruksi ATC untuk menahan pendakian pesawat dari 11.000 menjadi 13.000, dan prosedur yang dilakukan ketika melewati 10.000 kaki harus dilakukan, dan ya, satu hal lagi , settingan altimeter berubah dari QNH (tekanan lokal) menjadi QNE (tekanan standar), yang di Indonesia akan terjadi pada ketinggian 11.000 kaki saat mendaki dan juga akan memakan waktu beberapa detik. Seandainya asimetri terjadi di waktu yang lain, kru mungkin dapat cepat sadar apa yang terjadi dan dengan cepat melakukan mitigasi yang diperlukan. Namun, sekali lagi, ini adalah tebakan “bagaimana jika”, meskipun sekali lagi, tebakannya adalah tebakan yang masuk akal dan diperhitungkan.

Apa yang bisa kita rangkum?

  1. Pesawat utuk ketika menabrak permukaan air dalam satu bagian: Jika pesawat pecah sebelum menabrak permukaan air, kita akan melihat sebaran puing yang jauh lebih luas di dasar laut, dan lebih banyak lagi bagian yang mengambang ditemukan.
  2. Mesin semuanya masih nyala: data ADS-B masih dipancarkan hingga 250 kaki berarti tenaga listrik masih tersedia. Jika kedua mesin mati maka kru masih bisa mengendalikan pesawat dan bisa mendaratkan darurat pesawat dan menghasilkan survivable accident, dan ini sudah pernah terjadi beberapa kali termasuk pada 737-300 / 400/500.
  3. Pesawat tidak stall. KNKT menyebutkan rumor yang beredar di media sosial tentang pesawat yang stall pada kecepatan 115 knot. 115 knot terdeteksi saat pesawat sedang menukik melewati ketinggian 5400 kaki. Tingkat pendakian +22912 kaki per menit yang terdeteksi kemungkinan besar merupakan error karena sudut posisi pesawat yang tidak normal. Untuk kecepatan udara yang sama, semakin curam pendakian / penukikan Anda, semakin kecil ground speed Anda. 115 knot yang terdeteksi adalah ground speed, bukan air speed. Catatan ADS-B menunjukkan bahwa dari melewati 10.000 kaki pada pendakian, hingga kecelakaan, pesawat mengirimkan data yang cukup untuk True Airspeed dan Indicated Airspeed yang telah terkeam dimana  True Airspeed terekam antara 280 dan 284 knot, dan Indicated Airspeed yang terekam antara 235 hingga 239 knot. Sayangnya resolusi data waktu ini, sangat buruk dan akurasinya rendah di ketinggian rendah (sangat bagus di ketinggian tinggi!).

Ada begitu banyak yang kita ketahui tentang kecelakaan ini, tetapi masih banyak yang belum kita ketahui. Menariknya, KNKT juga menyatakan dalam rapat DPRbahwa ada 13 variabel yang akan dianalisa pengaruhnya terhadap sistem autothrottle. Mereka telah menyatakan bahwa pemeriksaan lanjut akan dilakukan untuk komputer Autothrottle, assembly aktuator Autothrottle, Ground Proximity Warning System (GPWS) dan Flight Control Computer. Saya cukup terkejut mereka ingin tahu apakah ada yang tercatat di GPWS untuk melihat apa yang terjadi di beberapa detik terakhir penerbangan, ya wajar sih, kan mereka investigatornya, sudah semestinya mereka tahu lebih banyak daripada kita-kita yang diluar.

 

Tunggu dulu! Terus mesinnya gimana?

Dari sudut pandang pribadi, saya rasa sudah cukup saya telusuri kemungkinan disorientasi dan tentunya saya tidak puas kecelakaan ini bisa sesederhana itu. Faktor-faktor lain pasti ikut berperan, Beberapa media bertanya kepada saya tentang masalah autothrottle dalam 2 minggu terakhir, dan masalah autothrottle seharusnya tidak membuat pesawat jatuh kecuali jika digabungkan dengan beberapa masalah / faktor lain, karena kru bisa saja cukup mematikan autothrottle kalau gerakannya “aneh-aneh.”

Agak lucu dan tragis sebenarnya ketika kita mendekati waktu rilis preliminary report, informasi-informasi baru tentang faktor mesin baru muncul dari berbagai sumber. Informasi sekarang mengarah pada uncommanded engine roll-back di mesin kiri. Kalau ini terjadi saat pesawat melintas di ketinggian 10.000 kaki, dengan beban kerja yang saya sebutkan di atas, pergerakan posisi tuas throttle sangat mudah luput dari pemantauan merekaSayangnya, kapan iniu terjadi dan seberapa banyak pergerakannya, kita belum tahu. Namun, kita juga tidak bisa terburu-buru dan saya harus membaca berbagai literatur teknis dan menganalisa dengan informasi yang masuk. Namun, saya ingin menaruh kutipan dari sebuah dokumen lama yang saya temukan hari ini yang cukup menarik.

If an engine slowly loses power – or if, when the thrust lever is moved, the engine does not respond – the airplane will experience asymmetric thrust.  This may be partly concealed by the autopilot’s efforts to maintain the required flight condition.

As is the case with flameout, if no external visual references are available, such as when flying over the ocean at night or in IMC, asymmetric thrust may persist for some time without the flight crew recognizing or correcting it.  In several cases, this has led to airplane upset, which was not always recoverable.  As stated, this condition is subtle and not easy to detect.

If asymmetric thrust is suspected, the first response must be to make the appropriate trim or rudder input.  Disconnecting the autopilot without first performing the appropriate control input or trim may result in a rapid roll maneuver.

Sumber: Sebuah dokumen lama yang saya temukan namun bagian ini dapat dilihat di: http://www.b737.org.uk/enginemalfunctions.htm

Jika mesin perlahan kehilangan tenaga – atau jika, saat tuas dorong digerakkan, mesin tidak merespons – pesawat akan mengalami gaya dorong asimetris. Ini mungkin sebagian tersembunyikan oleh upaya autopilot untuk mempertahankan kondisi penerbangan yang diperlukan.

Seperti kasus dengan flameout, jika tidak ada referensi visual eksternal yang tersedia, seperti saat terbang di atas lautan pada malam hari atau di IMC, dorongan asimetris dapat bertahan untuk beberapa waktu tanpa awak pesawat mengenali atau mengoreksinya. Dalam beberapa kasus, hal ini menyebabkan pesawat berada dalam posisi yang tidak selalu dapat dipulihkan atau diselamatkan. Seperti yang dinyatakan, kondisi ini tidak kentara dan tidak mudah dideteksi.

Jika dorongan asimetris dicurigai, respons pertama haruslah membuat masukan trim atau kemudi yang sesuai. Memutuskan sambungan autopilot tanpa terlebih dahulu melakukan input atau trim kontrol yang sesuai dapat mengakibatkan manuver putar cepat.

Silahkan saring dan pisahkan pendapat saya dari fakta yang ada. Kita bisa menebak semua yang kita ingin dapatkan, tetapi pada akhirnya, kita masih harus menunggu FDR dan CVR. Ingat, siapa pun di luar investigasi hanya menebak-nebak, termasuk saya. Ada yang tidak terlalu memperhitungkan fakta, beberapa memperhitungkan fakta sebanyak mungkin. Tapi semua orang di luar investigasi resmi hanya menebak-nebak. Izinkan saya menutup ini dengan mengungkapkan harapan saya agar CVR segera ditemukan sehingga para investigator dapat memiliki konteks yang lebih baik tentang apa yang terjadi di kokpit pada penerbangan yang menentukan itu.