Catatan: Pengertian dasar dari teori/spekulasi di artikel ini ada di Bag 1.

Saya sangat tidak puas dengan hasil dari simulasi yang dilakukan untuk artikel di Musibah SSJ100: Kenapa dia turun (Bag 1). Meskipun simulasi tersebut dapat menghasilkan pesawat terbang dekat sekali dengan titik jatuhnya pesawat SSJ100 tersebut, sudutnya sangat tidak cocok dengan sebaran puing² pesawat di lokasi. Sayapun mencari kembali foto² kokpit dari penerbangan pertama yang diambil oleh kawan saya Andi D (@infohots), namun tidak berhasil ketemu. Ekstrapolasi yang dilakukan hanya berdasarkan foto panel co-pilot diulang berkali-kali dan hanya membuang waktu karena hasilnya begitu² saja.

Semua itu berubah hari ini ketika Andi nongol lagi di internet dan mengunggah foto² nya kembali di forum diskusi Indoflyer, dan dia kebetulan juga menghubungi saya. Karena foto² dia di Photobucket kehabisan bandwidth, akhirnya dia setuju untuk mengirimkan saya foto² aslinya, dan pandangan saya mengenai apa yang terjadi langsung berubah total.

Panel sisi Kapten (photo oleh Andy D/ @infohots)

Primary Flight Display kapten memang memperlihatkan data yang sama dengan panel ko-pilot, namun detil² yang ada lebih jelas di foto² aslinya. Beberapa data yang saya koreksi di Bag 1 dan saya gunakan untuk Bag 2:
  • Indicated/Calibrated Airspeed:  238 knots
  • Pesawat sedang melewati ketinggian 7300 kaki (perbedaan dengan foto² lainnya hanyalah masalah perbedaan waktu pengambilan masing² foto).
  • Autopilot sedang digunakan dengan Heading Select mode dan Vertical Speed mode aktif (029° dan -1300 feet per minute), dan Altitude Select adalah 6000ft (bukan 2500 seperti temuan awal di Bag 1).

Perbedaan yang merubah analisa saya berdasarkan data yang ditayangkan di Navigation Display kapten:
  • Waypoint berikut untuk pesawat berdasarkan Flight Management Computer adalah pseudo-waypoint bernama AL01 (posisi kira² 150° dan 3 nautical mile dari Non-Directional Beacon bernama AL).
  • Garis putus² berwarna biru muda ternyata adalah course-line dari Halim VOR, dan di panel Kapten, yang terlihat adalah “Course Inbound” 241° yang sama dengan arah jalur Instrument Landing System untuk Runway 24.
  • Jarak yang di-set di Navigation Display tersebut adalah 40 nautical mile, berarti, busur putih yang putus² adalah busur lingkar radius 20 nautical mile dari pesawat (sedangkan jarak yang di set di panel ko-pilot adalah 20 nautical mile).
  • Garis hijau memperlihatkan jalur yang direncanakan oleh FMC, dan ini sama dengan yang ada di panel ko-pilot, TAPI, karena jarak yang di-set berbeda dengan yang di panel ko-pilot, kita bisa melihat bahwa pesawat baru terbang lurus sejauh 15 nautical mile. Inilah yang membedakan analisa di bagian ini dibanding bagian sebelumnya (karena kita asumsikan pesawat telah terbang lurus sejauh 25 nautical mile).

Panel sisi ko-pilot (Photo oleh Andy D / @infohots)
Karena melihat panel Kapten, saya sadar bahwa saya membuat kesalahan besar mengenai pengartian garis putus² berwarna biru muda yang ada di panel ko-pilot. Setelah menghitung ulang sudut garis tersebut, saya menyimpulkan bahwa yang diperlihatkan adalah “Course-line” dari Halim VOR ke arah 200° dan bukan 195° seperti yang disangka sebelumnya.

Temuan ini, membatalkan semua temuan saya di artikel Bag 1. Asumsi baru dan temuan baru berdasarkan informasi ini untuk penerbangan demo pertama adalah:

Untuk nomor² biru muda:
 1  Garis menggambarkan radial 200° dari Halim VOR.
 2  Lingkaran berpusat di Halim dengan radius 20 nautical mile.
 3  Non-Directional Beacon AL.

Untuk nomor² berwarna ungu/magenta:
 1  Pesawat lepas landas dari Runway 24, lalu belok ke kiri ke arah barat daya menuju Bogor Training Area dan climbing ke 10000 kaki.
 2  Setelah memasuki Bogor Training Area, pesawat belok ke arah timur.
 3  Sebuah orbit (belok 360°) ke kanan dilakukan pada posisi 20 nautical mile dari Halim di radial 200°.
 4  Setelah menyelesaikan orbit, pesawat meninggalkan Bogor Training Area dan belok ke arah AL01, dan mulai menurunkan ketinggian ke 6000 kaki, setelah selesai belok..
 5  Posisi kira² pesawat ketika foto² kokpit diambil (sekitar 10 nautical mile dari Halim di radial 150°), ketika pesawat masih turun ke 6000 kaki. Pesawat kemudian terus terbang mengikuti garis magenta, memudian melakukan ILS Approach dan mendarat di Runway 24.

Catatan: Bogor (Atang Sanjaya) Training Area (WIR4) koordinatnya adalah: 06°31’00″S 106°30’00″E, 06°31’00″S 106°50’00″E, 06°38’00″S 106°50’00″E, 06°38’00″S 106°30’00″E, 06°31’00″S 106°30’00″E, dan area tersebut adalah dari permukaan tanah sampai ke ketinggian 6000 kaki diatas permukaan laut.

Tentunya ini sangat berbeda dengan yang saya perkirakan di Bag 1, tetapi berdasarkan keterangan dari Andi D mengenai apa yang dia ingat (yang menurut saya masih cukup akurat). Kita tahu bahwa penerbangan kedua, lepas landas dari Runway 06 (dan direncanakan untuk mendarat kembali di Runway 06). Seperti di artikel sebelumnya, saya akan mengasumsikan bahwa waypoint HLM200/20 (20 nautical mile dari Halim VOR di radial 200°) tetap digunakan.

Asumsi saya untuk penerbangan kedua:

Untuk nomor² biru muda:
 1  Garis menggambarkan radial 200° dari Halim VOR.
 2  Lingkaran berpusat di Halim dengan radius 20 nautical mile.

Untuk nomor² berwarna ungu/magenta:
 1  Pesawat lepas landas dari Runway 06, lalu belok ke kanan dan melakukan intercept untuk mengikuti radial 200° sambil climbing ke 10000 kaki.
 2  Pesawat terus terbang mengikuti radial 200° di ketinggian 10000 kaki dan memasuki Bogor Training Area. Permintaan ijin untuk turun ke 6000 kaki dilakukan tidak lama setelah ini.
 3  Setelah memasuki Bogor Training Area dan dengan ijin dari ATC (Air Traffic Control), pesawat melakukan orbit (belok 360°) ke kanan di posisi HLM200/20 (20 nautical mile dari Halim VOR di radial 200°), dan pesawat juga mulai menurunkan ketinggian ke 6000 kaki. Catatan: Pesawat diperkirakan tidak keluar dari training area selama melakukan orbit tersebut.

Yang seharusnya terjadi kemudian adalah:
 4  Setelah selesai melakukan orbit, pesawat akan meninggalkan Bogor Training Area dengan sudut arah yang sama dengan sebelum melakukan orbit, dan pesawat akan meminta ijin ke ATC untuk belok ke kanan untuk kembali ke arah Halim.
 5  Pesawat turun lagi ke ketinggian 1600 kaki sebelum melakukan approach ke runway 06 Halim, dengan ancang²  posisi melalui HLM250/5 (5 nautical mile dari Halim di radial 250°), dan kemudian mendarat di Runway 06.

Kita semua tahu bahwa nomor 4 dan 5 tidak pernah terjadi karena pesawat tidak pernah kembali ke Halim. Tapi kenapa?
Yang mungkin terjadi:
Setelah menyelesaikan orbit, untuk kembali ke Halim Perdanakusuma, pesawat harus memberitahu ATC akan niat mereka dan mendapatkan ijin dari ATC. Namun, kita tahu bahwa ATC yang mengurus area tersebut berada di Bandara Soekarno-Hatta (CGK) dan juga sedang mengurus pesawat² yang keluar masuk CGK dan juga Halim Perdanakusuma, dan pesawat tidak berada di frekwensi ATC Halim Tower. Di jam segitu, ATC yang mengurus area tersebut dari CGK juga sedang mengatur sekitar 15 pesawat lainnya di area sebelah utara Halim Perdanakusuma.

Frekwensi² radio ATC bisa penuh dengan komunikasi nonstop di jam sibuk, dan ada kemungkinan bahwa awak pesawat Sukhoi mencoba tetapi tidak bisa dapat masuk untuk bicara ke ATC (karena radio suara penerbangan hanya memperbolehkan 1 stasiun untuk berbicara pada setiap saat). Jika mereka tidak bisa berbicara dengan ATC karena ATC sedang sibuk berbicara dengan pesawat² lainnya, awak pesawat Sukhoi tersebut akan melakukan hal yang lumrah… menunggu… sayangnya, mereka harus maintain arah mereka setelah mereka menyelesaikan orbit, dan tragisnya, arah tersebut menuju ke arah puncak Gunung Salak. Probabilitas jejak pesawat yang memungkinkan setelah orbit digambarkan dengan  segitiga kuning dengan garis pinggir berwarna merah , dan kita bisa lihat jika mereka tidak menabrak gunung, jalur yang mereka lalui juga akan sangat dekat dengan lokasi jatuhnya pesawat.

Saya yakin ini menimbulkan banyak pertanyaan:
1. Kenapa mereka tidak saja meneruskan penerbangan sesuai dengan rencana mereka dengan belok untuk kembali ke arah Halim atau berputar lagi untuk tetap berada di Training Area?
Begini, mereka meminta ijin untuk melakukan orbit karena flightplan (rencana penerbangan yang diberikan ke ATC) mereka hanya mencantumkan “Bogor Training Area” atau posisi HLM200/20 tersebut. Melakukan orbit itu bukanlah hal yang biasa diminta ketika terbang dari “kota A ke kota B” (dan jika melakukan orbit, biasanya atas perintah ATC, bukan pesawat yang minta), jadi kecuali jika ATC yang meminta untuk melakukan sesuatu, mereka harus meminta ijin dari ATC. Tentu saja, mereka bisa meminta ijin ATC untuk sekaligus melakukan orbit dilanjutkan dengan belok ke kanan lagi untuk balik ke Halim, tapi yah, itu kan 20/20 hindsight kita yang berbicara. Ya tentu saja akan lebih baik jika mereka lakukan itu, tetapi tidak sekaligus meminta kedua hal tersebut, juga masih wajar.

2. Masih wajar? Semestinya kan mereka tahu mereka mengarah ke gunung?
Lagi² itu 20/20 hindsight kita yang berbicara. Jika mereka tahu mereka mengarah ke gunung dan khawatir mereka akan menabraknya, mereka pasti sudah belok untuk menghindarinya. Anda tidak butuh minta ijin ATC untuk menghindari tabrakan dengan Cumulus Granitus (alias GUNUNG)… hindari dulu, lalu baru beritahu ATC.

Jangan lupa juga, bahwa ada indikasi gunung tertutup dengan awan, jadi mereka juga belum tentu melihat gunung tersebut ketika sedang menuju ke training area. 
Gambaran citra satelit cuaca yang diterbitkan oleh LAPAN memperlihatkan kondisi
cuaca disekitar Gunung Salak di saat kejadian.

3. Jika gunung tersebut tidak tertutup awan di penerbangan sebelumnya, tentunya mereka akan ingat gunung tersebut ada dimana bukan?

Belum tentu. Ingat yang saya tulis di Bagian 1:

Kita enak bisa melihat peta yang ada informasi kontur tanah. Pihak ATC melaporkan bahwa awak pesawat telah menerima briefing mengenai Bogor Training Area, termasuk penjelasan kondisi medan, dan area sekitarnya termasuk Gunung Salak. Peta yang diperlihatkan kemungkinan adalah peta yang digunakan untuk Visual Flying Rules, yang tidak mencantumkan posisi airway, tetapi penuh dengan informasi untuk penerbangan VFR. Ya, pilotnya menandatangani dokumen yang menyatakan dia sudah menerima briefing tersebut, namun, dia berencana untuk terbang di ketinggian 10000 kaki. Gunung Salak puncaknya hanya setinggi 7200 kaki. Perhatian mereka, mungkin akan lebih diarahkan ke Gunung Pangrango yang jauh lebih besar dan lebih tinggi.

Dari chart Lido diatas, keliatan bahwa MORA (Minimum Off Route Altitude) di sekitar Gunung Salak adalah 11900 kaki. Ini dikarenakan adanya gunung Pangrango di sebelahnya dengan ketinggian 9900 kaki.

Crew pesawat juga penggunakan chart dari Jeppesen. Mereka tidak akan menggunakan chart untuk Standard Instrument Departures (SIDs) atau Standard Arrivals (STARs), karena mereka tidak terbang ke kota lain mereka juga tidak menggunakan en-route chart kecuali mungkin untuk melihat MORA. Approach chart untuk Halim hanya memperlihatkan MSA 6900 kaki di selatan Halim VOR, dan validitas informasi tersebut hanya sampai batas lingkaran MSA (25 nautical mile), dan Gunung Salak berada diluar lingkaran tersebut.

4. Jadi kenapa mereka menurunkan ketinggian sewaktu melakukan orbit di penerbangan kedua dan tidak turun sewaktu melakukan orbit di penerbangan pertama?
Penjelasan sederhananya adalah, perubahan runway yang digunakan. Seperti yang saya ungkapkan di artikel sebelumnya, perhitungan umum praktisnya (rule-of-thumb) untuk pesawat jet, anda butuh 3 nautical mile untuk turun 1000 kaki. Untuk turun 10000 kaki, anda butuh 30 nautical mile. Meski spekulasi ini berubah dari yang sebelumnya, mereka tetap akan terlalu tinggi untuk langsung melakukan approach setelah belok kembali ke arah Halim jika mereka tidak menurunkan ketinggian dari 10000 kaki ketika mereka selesai melakukan orbit. Perhitungan di kepala yang dilakukan oleh pilot dalam perencanan penurunan ketinggian pesawat pasti dilakukan. Jika mereka melakukan orbit 20 nautical mile dari airport, dan langsung diikuti oleh belok kanan 180°, maka mereka juga akan berada di posisi kira² 20 nautical mile dari Halim Perdanakusuma ketika selesai belok. Untuk turun 6000 kaki mereka butuh 18 nautical mile, dan mereka masih membutuhkan 5 nautical mile untuk final approach segment. Jadi, meminta untuk turun ke ketinggian untuk bisa mencapai 6000 kaki pada posisi 20 nautical mile dari bandara atau titik awal final approach segment, adalah WAJAR. Perubahan runway yang digunakan dari Runway 24 ke Runway 06 telah memangkas jarak total penerbangan secara signifikan sehingga posisi top-of-descent akan berubah banyak untuk penerbangan kedua.

5. Seharusnya kan mereka menggunakan peta yang cocok untuk mereka bisa menghindari gunung?
Penerbangan ini adalah penerbangan IFR (instrument flight rules) dan bukan VFR (visual flight rules). Saya tidak akan membahas hal ini di artikel ini karena sudah dimuat di artikel sebelumnya mengenai peta apa yang mereka gunakan (Jeppesen charts, dan yang saya gunakan di artikel² saya adalah Lido charts). Namun, mari kita lihat charts apa yang mereka gunakan pada saat melakukan penerbangan² tersebut:
Peta yang dikiri adalah approach chart, peta yang dikanan adalah airport ground chart

Approach chart yang digunakan untuk penerbangan pertama. Untuk penerbangan 
kedua peta tersebut diganti dengan approach chart untuk runway 06.

Perhatikan bahwa tidak ada chart lain yang terlihat di foto² tersebut. Tidak ada enroute chart, atau VFR chart, dan ya, ini wajar untuk dilakukan dalam sebuah penerbangan IFR yang pendek dari dan menuju bandara yang sama. 

Apa yang berubah dari Bagian 1?
Argumen pihak ATC bahwa pesawat menggunakan Bogor Training Area adalah sangat wajar (saya tidak suka ikut main “cari kambing hitam”, itu jatahnya penyidik pidana dan lawyer… saya disini mencari perbaikan keselamatan penerbangan, yang membutuhkan investigasi (bagi pihak resmi) atau penelusuran (bagi spekulator seperti saya) yang bersifat “blameless” (tidak ada yang disalahkan) dan objektif.

Perubahan² lainnya antara lain adalah keberadaan dan penjelasan mengenai orbit. Orbit dilakukan untuk menambah waktu penerbangan, seperti untuk penerbangan pendek untuk demo penjualan seperti penerbangan ini. Ini juga artinya awak pesawat sadar akan kondisi umum area tersebut, dan dalam melakukan upaya² mitigasi resiko dan antisipasi yang wajar (reasonable and foreseeable mitigation of risk), mereka memilih untuk menggunakan Bogor Training Area, dan menggunakan orbit untuk menambah waktu penerbangan yang wajar untuk memenuhi misi demo penjualan.

Tanpa bias hindsight, kombinasi dari rencana penggunaan Bogor Training Area dan perubahan runway yang digunakan, pihak awak pesawat maupun ATC, dengan segala upaya kemampuan dan pengalaman mereka, tidak dapat secara wajar mengantisipasi atau meramal peningkatan resiko yang timbul akibat perubahan runway yang digunakan tersebut. Hal ini juga karena memang tidak ada resiko yang terlewatkan oleh perencanaan mereka jika mereka tetap menggunakan runway 24 di Halim Perdanakusuma. Kenyataannya, dalam penerbangan pertama, mereka tidak menggunakan Bogor Training Area, malah terbang diatas area tersebut, yang menghasilkan tambahan margin keselamatan penerbangan mereka dari gunung disekitar area tersebut… selama mereka/anda terbang dari/ke runway 24 di Halim. Sayangnya, penerbangan kedua menggunakan runway 06.

Kesimpulan:
Perubahan runway yang digunakan memang mengacaukan perencanaan descent para pilot di dunia ini setiap harinya. Pilot di pesawat ini memang mahir, bahkan sangat mahir. Mereka tergolong test pilot (pilot uji coba), mereka sewajarnya lebih mahir dari pilot sipil lainnya. Mereka tidak tertinggal dibelakang situasi dalam perencanaan descent mereka di area yang masih asing bagi mereka, namun, mereka tidak melihat peningkatan resiko yang terjadi (dan bukan karena kecerobohan mereka), disinilah “pemburu kambing hitam” bisa berpesta-ria memaki mereka yang sudah tewas. Menurut pendapat saya, karakteristik unik area ini yang tidak biasa mereka terbangi, berujung kepada tragedi ini. Kemungkinan kesibukan ATC dan frekwensi radio, efeknya dicampur dengan kondisi medan yang dekat dengan gunung, tidak diantisipasikan oleh siapa² di tahap perencanaan.

Sekali lagi, kecuali pihak investigasi resmi menemukan hal yang lain, informasi yang tersedia untuk masyarakat dan kalangan umum, tidak mengindikasikan unsur² “pilot sok jago” atau “cover-up dari pihak ATC” (justru, menurut saya pihak ATC sudah cukup terbuka dalam memberikan informasi seputar tragedy ini dan sepatutnya mereka tidak membuka informasi yang sewajarnya tidak dibuka pada saat ini).

Artikel ini, hanyalah sebuah spekulasi objektif yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan² yang menghantui kita semua. Fakta² dan penyebab² kejadian yang akan diungkapkan oleh tim investigasi resmi di ujung hari bisa saja sama, mirip atau sangat berbeda dari artikel ini. Namun saya berharap bahwa artikel ini bisa memberikan jawaban² yang memungkinkan dan masuk akal dibanding spekulasi² liar dan apa yang diungkapkan oleh mereka yang mencari kambing hitam.

Saya mengakhiri artikel ini dengan mengatakan bahwa pertanyaan kenapa mereka turun dan kenapa ATC memberikan ijin mereka turun, dari sudut pandang saya, sudah terjawab; dan salah satu “kelinci percobaan” saya sudah mensimulasikan teori diatas ini beberapa kali. Memang dia tidak nabrak gunungnya di ketinggian 6000 kaki dalam simulasinya, tapi dia hanya meleset 500 meter dari titik jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 RA-97004.

4 Comments

  1. Artikel yang cukup komprehensif bagi orang awam seperti saya ….banyak istilah teknis penerbangan yang tetap tidak saya mengerti ….

  2. Saya banyak belajar dari artikel Anda ini, terima kasih.

    Salam
    DK

  3. Terimakasih banyak, Kapten. Saya baru tahu mengapa ia turun ke 6000ft dan bahwa itu masuk akal secara teoretis.

  4. Sangat masuk akal dan teoritis. Saya sebagai insan penerbangan sangat suka teori ini. Tidak ada yang dipersalahkan. Dan memang seharusnya demikian. Terima kasih sudah mw berbagi.

Leave a Reply