Belum lama ini pihak pengelola bandara Angkasa Pura 2, mengeluarkan surat edaran kepada maskapai² pengguna Bandara Soekarno-Hatta bahwa bandara tersebut terletak di Tangerang Banten, dan bukan di Cengkareng Jakarta. Dalam himbauan tersebut para maskapai diminta untuk mengubah cabin announcentment mereka dari “Selamat datang di Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta” menjadi “Selamat datang di Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten.”

Hal ini dilakukan setelah walikota Tangerang, Arief R Wirmansyah memprotes announcement yang dilakukan selama ini. Tidak hanya itu saja, kode IATA bandara tersebut juga diminta untuk diganti dari CGK (yang sinonim dengan Cengkareng) menjadi kode yang lebih sesuai untuk Tangerang.

“Pertikaian” antara Jakarta dan Tangerang mengenai Bandara Soekarno-Hatta memang bukanlah hal yang baru. Permasalahan ekspansi bandara juga berbenturan dengan pemerintah kota Tangerang. Mungkin kompromi ini dilakukan demi kelancaran ekspansi pintu gerbang Indonesia ini. Namun ada beberapa hal yang sedikit aneh.

Cabin Announcement yang ada menghilangkan hubungan antara Bandara Soekarno Hatta dengan kota Jakarta yang merupakan tujuan mayoritas penumpang yang mendarat di bandara tersebut. Hal ini berbeda dengan kasus serupa yang terjadi di Bandara Juanda, dimana cabin announcement diubah dari “Bandara Juanda Surabaya” menjadi “Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo.”

Untuk di kasus Bandara Juanda, permintaan dari pemerintahan Sidoarjo hanya meminta untuk menambahkan announcement agar nama Sidoarjo dimasukkan, tanpa menghilangkan asosiasi bandara Juanda dengan kota Surabaya yang dilayaninya. Dalam kasus Bandara Soekarno Hatta, permintaan pengubahan announcement benar² menghilangkan asosiasi bandara tersebut dengan kota yang dilayaninya yaitu Jakarta. Ini tentunya akan mengakibatkan potensi masalah. Tidak semua orang tahu bahwa bandara Soekarno-Hatta terletak di Tangerang, dan tidak semua orang tahu bahwa Tangerang itu sebelahnya Jakarta.

Saya tidak akan kaget kalau ada penumpang yang menanyakan ke awak kabin atau staff maskapai/bandara, “Mas/Mbak, saya mau ke Jakarta apakah ikut turun dari pesawat kemudian melapor ke bagian transit?” Mungkin ini kedengaran seperti lelucon, tetapi sudah ada beberapa pihak yang mengaku ini telah terjadi.

Lalu pertanyaan berikutnya, kalau ada maskapai yang tidak melakukan perubahan announcement tersebut, apakah ada sanksi yang diberikan? Sanksinya berupa apa dan dengan dasar hukum apa? Apakah semua maskapai termasuk maskapai asing harus mengikutinya juga? Jika iya, kembali lagi, atas dasar apa jika sanksi akan diberikan? Lalu kalau maskapai asing tidak diharuskan mematuhi perubahan tersebut sedangkan maskapai Indonesia diharuskan, bukankah ini merupakan diskriminasi yang merugikan maskapai Indonesia?

Lalu memeriksa announcement-nya bagaimana? Apakah hanya yang versi bahasa Indonesia saja yang harus diubah? Atau versi Inggrisnya juga? Atau termasuk versi bahasa² lain? Sudah adakah yang mengaudit announcement-announcement di bahasa² lain tersebut oleh pihak PemKot Tangerang? Saya rasa PemKot hanya berani memaksakan hal ini bagi maskapai² Indonesia saja.

Mengenai perubahan kode IATA bandara dari CGK ke kode yang lebih sesuai dengan Tangerang, itu merupakan arogansi dan dagelan yang tidak karuan. Jangan lupa bahwa Jakarta juga punya kode IATA untuk kota/daerahnya selain kode bandara, yaitu JKT. Apakah lalu pemerintah kota Tangerang juga ingin meminta agar bandara Soekarno-Hatta dicabut dari daftar bandara yang melayani Jakarta?

Lalu apakah nanti PemKot Tangerang juga ingin memaksakan maskapai² untuk tidak mencantumkan kota Jakarta sebagai kota asal/tujuan untuk penerbangan² yang keluar masuk bandara Soekarno-Hatta? Jika iya, maka bagaimana dengan menerapkannya ke maskapai internasional? Bayangkan jika maskapai² Indonesia dipaksa untuk mencantumkan “Tangerang – CGK” dan maskapai² asing masih boleh mencantumkan “Jakarta – CGK” di website dan booking engine mereka? Anda bisa bayangkan betapa merugikan bagi maskapai² Indonesia! Orang Indonesia aja masih ada yang tidak tahu bahwa Tangerang itu sebelahnya Jakarta, bagaimana orang asing? Belum lagi dampaknya kepada ekonomi Indonesia (dan ekonomi Tangerang), mungkin jika sampai separah itu, walikota Tangerang tidak akan mau mengakui adanya keterkaitan.

Hari ini, salah satu Twitter Follower saya, “Timetraveller”, melaporkan:

Sepertinya guna mencegah dis-asosiasi bandara dengan Jakarta, para maskapai mengikuti himbauan dari pihak Angkasa Pura 2 berdasarkan permintaan walikota Tangerang, dengan ditambahkan, “Selamat datang di Jakarta”.

Eh, sebentar, selamat datang di Jakarta? Ntar marah gak tuh pak walikota? Pesawatnya mendaratnya di Tangerang tapi dibilangnya selamat datang di Jakarta bisa² jadi masalah baru nih?

Mr. “Timetraveller” pun saya mintakan bantuannya, dan jawabannya…

Seperti yang saya duga, galaknya pak walikota sepertinya hanya galak jago kandang sendiri. Begitu sudah urusan maskapai luar negeri, sepertinya tidak diharuskan atau memang tidak berani. Sayangnya, kebijakan aneh yang satu ini adalah diskriminasi yang merugikan maskapai Indonesia, karena menurunkan tingkat kenyamanan dari segi Passenger Experience yang mungkin merupakan bahasa alien bagi para banyak pejabat² negeri kita ini.

Jadi jika lain kali setelah anda mendarat di bandara Soekarno-Hatta dan mendengar, “Mas/Mbak, saya mau ke Jakarta apakah ikut turun dari pesawat kemudian melapor ke bagian transit?” Anda tahu ini akibat ulah siapa.

[poll id=”5″]

4 Comments

  1. Di Surabaya juga gitu mas, katanya “Kita telah mendarat di Bandar Udara Internasional Juanda di Sidoarjo. Selamat datang di Surabaya.” 🙂

    Tapi mau dibilang apa, lah emang bener bandaranya ada di Sidoarjo, bukan di Surabaya :p

  2. Waini,
    Nanto kota-kota lain juga menyusul, macam Syamsudin Noor misalnya.
    Selamat datang di Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru. Selamat datang di Banjarmasin.

    Nah.. 😀

  3. sama parahnya dengan bandara Adi Sumarmo di Solo yang berdiri di tanah boyolali. bagian depan bandara Adi Sumarmo yang dibawahnya seharusnya tercantum Solo malah jadi Boyolali. padahal kalo kita pesan tiket terutama online, tetep aja yang tercantum kota Solo, bukan Boyolali.

    kalo begini sama aja egois. seandainya dua regional mau kerja sama malah simbiosis mutualisme dalam kemajuan dua regional tadi. ini masih membuktikan ego sektoral masih mengikat di instansi Pemerintah terutama Walikota/Bupati.

Leave a Reply