Sedikit lebih dari setahun yang lalu, maskapai penerbangan berjadwal swasta terakhir dari abad terakhir berhenti terbang. Pemain lama dari jaman sebelum era reformasi tinggal hanya 2 maskapai milik negara, Garuda dan Merpati.

A320 Mandala sebelum berhenti beroperasi

(Photo by: Christ Moris)

Perubahan radikal Mandala di periode 2007-2010 sangat berhasil dari segi produk. Mandala melawan arus perubahan industri yang mengarah ke model low cost dan low fare, dan mengadopsi model bisnis hibrida dimana beberapa baris kursi didepan dialokasikan bagi penumpang bisnis, seperti kebanyakan kelas bisnis di Eropa yaitu menggunakan kursi ekonomi namun pelayanan kelas bisnis, dan sisa kabin diisi kelas ekonomi a la low-cost carrier.

CEO saat itu Warwick Brady (sekarang di Easyjet) pada

penyambutan pesawat A319 pertama Mandala tahun 2007

(Photo by: Christ Moris)

Armadanya pun diganti seluruhnya dari Boeing 737-200 dan 737-400 ke Airbus A320 dengan 2 A319. Masalah safety akibat tekanan kompetisi pasar ditangani dengan serius dan Mandala berhasil menjadi salah satu maskapai Indonesia pertama yang mendapatkan sertifikasi IOSA dan masuk dalam batch pertama airline yang diberikan pengecualian dari larangan terbang Uni Eropa.




Statistik “aneh” saya mengenai Mandala yang berdasarkan data terbatas sudah cukup menunjukkan keberhasilannya di pasar. Pada tahun 2009 Mandala mengalami peningkatan jumlah penumpang dan peningkatan load factor tertinggi di Indonesia. Setiap kursi di pesawat Mandala adalah kursi pesawat yang paling produktif di Indonesia dengan mengangkut lebih banyak penumpang (per kursi) dibanding maskapai lainnya.

5 pesawat Mandala sehari setelah berhenti operasi
(Photo by: Mochamad Aswin)
Sayangnya, keberhasilan Mandala tidak didukung oleh investasi yang dibutuhkan. Hubungan antara pemilik Mandala  bisa dikatakan kurang harmonis. Indigo menarik Warwick Brady untuk menjadi CEO dengan maksud menggunakan pengalaman beliau di Ryanair dan Air Deccan untuk membawa Mandala menjadi low cost carrier yang bisa melawan Lion Air dan Air Asia. Di sisi lain, Cardig ingin agar Mandala menjadi pemain besar di segmen pasar full service, melawan arus perubahan industri airline pada saat itu. Brady akhirnya mengambil jalan tengah dengan menjalankan model hybrid-nya dan ini sepertinya tidak bisa diterima oleh Indigo yang kemudian menolak untuk menyuntik dana investasi lanjut yang dibutuhkan. Karena Indigo menolak, Cardig pun enggan menyuntik dana sendirian. Alhasil, restrukturisasi lanjut dan perampingan demi efisiensi tidak bisa menjadi kenyataan bagi Mandala karena kurangnya dana. Akhir dari nasib dan riwayat Mandala sudah mengambang didepan pintu, Brady mengundurkan diri dan Mandala diambil alih oleh mantan CEO Diono Nurjadin yang berupaya mempertahankan kelangsungan Mandala. Namun akhirnya Mandala harus tutup pintu di Januari 2011 dengan alasan akan melakukan restrukturisasi.
Dua pilot Mandala Air memberikan ciuman terima kasih kepada pesawat mereka
sebelum menerbangkannya kembali ke pihak lessor
(Photos courtesy of Capt. Ditto Arya)

Pernikahan Cardig-Indigo di Mandala berakhir dengan cerai, Saratoga Investments masuk dengan menggandeng Tiger Air dari Singapura, dan sekarang Mandala sudah mendapatkan kembali AOC nya dan telah mengumumkan akan terbang kembali pada tanggal 4 April, dengan “selera” Tiger Air yang sangat jelas terutama jika kita melihat rute-rute yang direncanakan:

  • Jakarta-Singapura
  • Medan-Singapura
  • Denpasar (Bali)-Singapura

Mandala hanya sebagai nama – PK-RMN
sebelum mendarat di Bali pada saat proving flight.
(Photo by: Efendi Tanuliadi)
Apa akibat dari Mandala digandeng Tiger?
1. Brand Mandala akan hilang! Ini merupakan bagian paling menyedihkan dari restrukturisasi Mandala dimana kita semua harus mengucapkan selamat tinggal untuk brand Mandala. Logo Roda Mandala sudah hilang dan dipastikan tidak akan kembali, “bunga sakura Mandala” (julukan yand diberikan oleh teman-teman saya) juga hilang. Apa jadinya logo Mandala? Yah, cukup lihat foto di kiri.

2. Seragam crew Mandala juga akan hilang dan digantikan dengan seragam Tiger, namun untuk hal ini saya masih mencari konfirmasi.

3. Model bisnis Value-Added Carrier Mandala yang berhasil di 2007-2010 juga tidak akan kembali. Produk dan model bisnis Mandala akan disesuaikan dengan Tiger Air. Padahal, keberhasilan produk Mandala di 2007-2010 bisa dikatakan adalah hasil dari produknya yang diarahkan ke kalangan pebisnis dimana beberapa baris pertama dijadikan kelas bisnis a la Eropa, dengan akses lounge, priority check in, dan makanan yang sudah termasuk dalam harga tiket. Hal tersebut sangat diminati oleh kalangan pebisnis dimana Mandala menjadi pilihan kedua setelah Garuda untuk perjalanan bisnis bagi perusahaan-perusahaan terkemuka di Indonesia, bahkan menjadi pilihan utama sebelum Garuda bagi beberapa perusahaan besar.


Penumpang yang selama ini menghindari “maskapai low-fare dan low-cost a la apa ada kadarnya”, mungkin akan memilih untuk menunggu apakah produk Tiger di Mandala telah berubah ke arah value-added product atau masih seperti Tiger dulu dimana passenger experience di darat dalam perjalanan menggunakan Tiger sempat kacau-balau.

Meskipun dikabarkan bahwa Kementrian Perhubungan melarang Mandala mengubah namanya menjadi Tiger, sepertinya branding Tiger (dengan nama Mandala) dan perubahan pelayanan Mandala menjadi sejajar dengan produk Tiger, tidak bisa dicegah.


Pertanyaan-pertanyaan yang masih ada di benak pikiran banyak orang:
  • Apakah Tiger-Mandala bisa bertahan di segmen low-cost dan low-fare yang didominasi oleh Air Asia dan Lion Air?
  • Bagaimana Mandala akan menyelesaikan proses refund penumpang yang kena akibat dari berhentinya Mandala tahun kemarin?
Mungkinkah topi pilot Mandala menjadi identitas brand Mandala terakhir?
(Photo courtesy of Capt. Ditto Arya)

2 Comments

  1. Tiger Airways ini payah bukan main. It’s typical Singaporean company doing business overseas: if daddy isn’t around, I’m going to screw up.

    Di Australia, airline ini udah masuk daftar “hindari.” But then again, those Mandala employees needs some living, so this is the price that many Indonesian aviation fanboys like us have to pay.

  2. Tiger sebagai “cheap and nasty” LCC mudah-mudahan sudah gak lagi dech sejak Indigo juga ditendang darisana. Manalagi kabarnya Tiger Air Australia mau terbang lagi juga.

    Kita lihat saja nanti. Saya senang Mandala kembali terbang, tapi kok…

Leave a Reply